- Back to Home »
- Cerpen »
- Cerpen: Pohon Keramat
Posted by : Unknown
Selasa, 03 April 2012
Desa Kalidoso yang terletak sepuluh
kilometer dari jalan raya antara Solo dan Purwodadi itu bagaikan sebuah oase
yang cukup luas. Sekelilingnya adalah perbukitan kapur yang tandus, tetapi
subur bagi pohon jati, sehingga desa itu dilingkari oleh hutan jati. Seperti
oase, karena hanya desa itulah yang rimbun dengan berbagai tanaman tahunan,
terutama
buah-buahan seperti mangga, jambu, nangka, belimbing, dan paling
banyak tumbuh pohon melinjo yang menjadi bahan baku kerajinan emping melinjo di
daerah itu. Rumput pun bisa tumbuh di daerah itu sehingga penduduknya bisa
memelihara sapi dan kambing. Berbeda dengan desa-desa lain di sekitarnya, yang
penduduknya beragama Islam santri, desa Kalidoso itu berpenduduk abangan dan
masih percaya pada adanya roh yang menghuni benda-benda. Namun, di antara
penduduk desa ini terdapat pula pemeluk Islam yang taat, bahkan bisa dibilang
fanatik. Walaupun demikian, tak sebuah masjid atau langgar pun telah didirikan
di desa yang terkebelakang perkembangan agamanya itu. Kaum santri Solo yang
telah maju menyebut penduduk desa itu sebagai mengidap penyakit TBC, singkatan
dari takhayul, bidah, dan churafat.
Di
desa itu terdapat pula sebuah kebun buah-buahan milik desa. Di pinggiran
pohon-pohon itu tumbuh sebuah pohon trembesi besar yang telah tua, barangkali
ratusan tahun umurnya dan karena itu sangat rimbun. Saking besarnya, pohon itu
dipercaya sebagai angker yang dihuni oleh roh-roh. Hanya saja tanah di bawah
pohon itu sering kotor karena daun-daun yang gugur dan karena itu setiap kali
perlu dibersihkan. Di dekat pohon itu terdapat mata air yang jernih airnya
sehingga dipakai oleh penduduk sebagai air minum. Pemerintah desa telah membuat
sebuah kolam sederhana yang menampung air itu dan penduduk desa bebas mengambilnya.
Bahkan, di dekat kolam air itu didirikan kamar mandi dan kakus sederhana tak
beratap, terbuat hanya dari anyaman batang bambu dan kayu. Tetapi, para
perempuan suka mandi langsung di dekat kolam itu dengan hanya mengenakan kain
saja sehingga merupakan pemandangan menarik bagi lelaki. Pagi dan sore selalu
ramai dengan orang mandi. Biasanya perempuan lebih awal mandinya ketika pagi
masih agak gelap. Baru agak siangnya datang para lelaki untuk mandi.
Guna
menjaga tempat mandi, cuci, dan kakus, pak Lurah Samidjo menugaskan Partorejo,
seorang yang berusia setengah baya. Untuk praktisnya, Pak Parto, demikian
panggilan akrabnya, dan keluarganya ditugasi pula menjaga kebun itu. Sebagai
penjaga kebun, ia atas nama kepala desa melarang penduduk untuk memetik buah
sendiri. Setiap akhir musim buah dilakukan panen. Buah-buahan hasil panen itu
dijual dan hasilnya masuk kas desa dan dibelanjakan untuk meningkatkan
kesejahteraan seluruh penduduk desa.
Ketika telah berumur empat puluh tahunan,
Parto melakukan kegiatan yang mengundang perhatian seluruh penduduk desa. Ia
setiap malam melakukan semadi atau bertapa, dengan cara duduk bersimpuh di
antara dua batu besar yang menonjol di bawah pohon itu, walaupun agak jauh dari
batangnya. Pada waktu siang, setelah memeriksa dan membersihkan kebun, yang
dibantu oleh istrinya, Pak Parto melakukan praktik pijat. Rupanya ia pernah
belajar pijat-memijat pada seorang tukang pijat terkenal di daerah hutan jati
antara Purwodadi dan Pati yang terkenal dengan kegiatan kebatinan dan
perdukunannya itu. Rupanya kegiatan pijat yang dilakukan di atas tikar pandan
di bawah pohon trembesi yang rindang sejuk dan nyaman itu makin ramai. Istrinya
ikut pula memijat. Banyak orang dengan berbagai penyakit meminta terapi pada
Parto. Mungkin untuk memberi sugesti kepada langganan pijatnya, ia selalu
memberikan sebotol kecil air yang diambil dari mata air itu setelah diberi
mantra olehnya. Inilah yang menyebabkan maka Parto akhirnya disebut sebagai
dukun, dan ia tidak keberatan dengan sebutan magis itu. Tentu saja dengan
mengatakan bahwa air dari mata air itu berkhasiat tinggi, bukan sembarang air.
Namun dengan tidak diketahui dari mana
asal-usulnya, penduduk desa mulai memberikan sesajen yang diletakkan di
sekeliling pohon trembesi itu. Asal-usulnya mungkin dari kegiatan bertapa yang
dilakukan oleh Pak Parto di bawah pohon itu dan ucapan yang pernah terdengar
dari mulut Parto bahwa pohon besar itu ada penjaganya yang disebut orang Jawa
sebagai Sing mBau Rekso, yaitu Sang Penjaga. Penduduk desa harus ramah kepada
Sing mBau Rekso agar desa itu diberkati, dengan menyediakan sesajen kepada raja
pohon di antara pohon-pohon di daerah itu. Parto sendiri sering mengajarkan
kepada penduduk desa agar mereka memelihara pohon trembesi dan pohon-pohon yang
lain di desa itu. Pohon dianggap sebagai makhluk hidup juga dan karena itu
mereka harus berteman dengan sesama makhluk hidup.
Gejala itulah yang menggelisahkan batin
seorang ustad yang dipandang paling ahli agama di desa itu.
"Itu syrik. Dan syrik adalah dosa yang
paling besar di hadapan Allah," kata Kyai Fauzan Saleh.
"Tapi Kyai, orang-orang desa sulit diberi
tahu. Mereka percaya kepada dukun Parto itu. Apalagi ia sering dianggap telah
banyak menolong orang sakit dengan pijat dan jampi-jampinya."
"Kalau orang sakit itu perginya ke
puskesmas, bukan ke dukun syrik," kata Kyai Fauzan, orang yang memang
dikenal punya pengetahuan luas.
"Di sini ’kan belum ada puskesmas pak
Kyai. Tak mungkin desa ini mendapat proyek puskesmas sebelum penduduk di sini
meninggalkan partai yang tidak berkuasa dan masuk partai yang berkuasa saat
ini."
Desa
di daerah perbukitan kapur ini dulu memang dikenal sebagai basis PKI. Bahkan
pada masa pemberontakan PKI-Madiun, penduduk di sini banyak yang terlibat dalam
gerakan komunis dan ikut dalam pembunuhan kaum santri dan pejabat pemerintahan.
"Wah, bagaimana caranya memberantas
takhayul, bidah, dan khurafat di sini?" tanya Kyai Fauzan kepada rekan
bicaranya, yang dikenal kaya karena bekerja sebagai pemborong jalan dan
bangunan di daerah-daerah lain yang banyak proyeknya. Pak Thohir, demikian nama
pemborong itu, diam termenung cukup lama tak memberikan jawaban. Tapi akhirnya
ia keluar dengan sebuah usul.
"Cara memberantas TBC satu-satunya adalah
menebang pohon trembesi itu. Kalau tak ada pohon yang dianggap keramat, si
Parto itu tak akan melanjutkan praktik perdukunannya," kata Thohir dengan
nada ketus.
"Tapi, apa alasannya menebang pohon itu?
Kita akan melawan si Parto dan pengikut-pengikutnya."
"Begini Pak Kyai, saya kan kenal dengan
Sekda dan orang-orang DPRD dari partai yang berkuasa. Saya akan katakan kepada
mereka agar penduduk desa mau mencoblos partai itu, rakyat harus dibuat simpati
dulu," kata Thohir menjelaskan usulnya.
"Bagaimana menarik simpati penduduk
desa?" tanya Kyai Fauzan ingin tahu.
"Saya akan mengusulkan proyek terpadu
pembangunan prasarana desa. Pertama, masjid. Kedua, MCK menggantikan kolam yang
sekarang. Di situ akan kita pasang pompa Sanyo menggantikan mata air. Kemudian
jangan lupa puskesmas agar orang tak lagi datang ke dukun," jelas Thohir
lebih lanjut.
"Lalu apa hubungannya dengan pohon
itu?" tanya Kyai Fauzan kurang tahu.
"Pohon itu kita tebang ramai-ramai. Di
atasnya persis kita dirikan masjid. Kemusyrikan dan TBC kita ganti dengan
tauhid yang semurni-murninya," jawab Thohir memakai bahasa santri. Kyai
Fauzan pun tersenyum mengangguk-angguk tanda setuju dengan gagasan cemerlang
itu. "Jaal khaqqo wa zahaqol baatil. Innal Batila kaan zahuko," kata
Kyai Fauzon menirukan seruan kaum Muslim di Mekah ketika menghancurlan
berhala-berhala di sekitar Ka’bah, yang artinya "telah datang Kebenaran
dan jika datang Kebenaran maka hancurlah kebathilan". Tapi Thohir masih
menambah keterangan: "Tapi masih ada tugas kita semua sekarang ini."
"Apa tugas itu?" tanya Kyai Fauzan
lagi.
"Kita harus berdakwah untuk menyerukan
penghancuran TBC dengan menumbangkan sumber TBC itu sendiri. Pohon trembesi
terkutuk itu. Pak Kyai yang memimpin dakwah itu. Sedangkan saya mengusahakan
proyek itu. Saya sendiri yang akan membangun prasarana desa itu?" kata
Thohir penuh percaya diri.
Kesepakatan pun tercapai antara ulama dan
pemborong itu untuk melaksanakan proyek yang mulia itu. Keduanya pun melaksanakan
tugasnya masing-masing. Keduanya juga bersama-sama menemui Pak Lurah dan
kemudian Pak Camat mengutarakan usul mereka. Karena proyek itu menyangkut
pembangunan desa dan mencakup pembangunan fisik maupun rohani, maka dengan
tidak sulit kedua tokoh desa itu bisa diyakinkan.
Rencana itu pun terdengar oleh Parto dan
pengikut-pengikutnya. Mereka pun marah, namun sulit menolak gagasan pembangunan
yang telah disetujui oleh Pak Lurah dan Pak Camat.
Parto berkata kepada para pengikutnya,
"Pohon kita itu adalah pohon keramat yang memberi berkah kepada penduduk
desa. Jika pohon itu ditebang, maka Sing mBau Rekso akan marah besar,"
kata Parto keras sebagai seorang yang dianggap suci karena pertapaannya dan
perannya sebagai dukun yang terkenal sampai ke desa-desa lain itu.
"Bagaimana marahnya Pak?" tanya
orang desa tak mengetahui bagaimana caranya roh marah itu.
"Wah saya juga tidak tahu. Tapi pokoknya
penduduk desa ini akan ditimpa bencana. Tanah longsor mungkin gempa bumi,
penyakit menular, atau kelaparan."
Penduduk desa cukup ketakutan mendengar
peringatan Parto yang berapi-api itu.
Kyai
Fauzan yang mendengar aksi penolakan itu menjawab, "Lagi-lagi takhayul.
Justru TBC itulah yang bisa menimbulkan bencana karena menyimpang dari akidah.
Dengan kembali kepada yang benar, al ruju’ ilal haq, kita pasti akan
mendapatkan rahmat dan pengampunan," tangkis Kyai Fauzan. Dua pandangan
itu tentu membuat penduduk kebingungan. Mana yang akan diikuti? Tapi yang
jelas, mereka tidak bisa berbuat apa-apa melawan rencana pemerintah desa yang
disetujui oleh Pemerintah Kabupaten Sragen itu.
Maka
hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pemborong Thohir berhasil memperoleh proyek
pembangunan prasarana. Pada suatu hari Jumat, datanglah penduduk desa yang diikuti
dengan penduduk dari daerah lain, ramai-ramai menebang pohon trembesi raksasa
itu sambil meneriakkan "Allahu Akbar". Mereka merasa telah
menumbangkan kebatilan.
Dengan rubuhnya pohon itu dan akar-akarnya pun
dicabut dan dibawa dengan sebuah truk oleh pemborong. Pemborong Thohir pada
gilirannya melaksanakan tugasnya, mula-mula membangun masjid, kemudian MCK, dan
gedung puskesmas. Masjid didirikan persis di atas tempat yang dulu ditumbuhi
pohon trembesi itu. Dalam tempo hanya enam bulan, seluruh bangunan itu selesai.
Walaupun sebagian penduduk yang abangan protes, penduduk desa Kalidoso itu tak
bisa berbuat apa-apa. Tapi kesedihan mereka seolah-olah tersiram oleh air yang
deras memencar dari pompa Sanyo.
Mula-mula kebutuhan air tiga bangunan itu
terpenuhi tanpa masalah. Kemarahan Sing mBau Rekso yang dikatakan oleh Parto
tidak terbukti datang. Parto sendiri agar tidak marah tetap diberi tugas oleh
Pak Lurah untuk menjaga tiga bangunan itu, terutama bangunan masjid. Tugas itu
pun dijalankan oleh Parto. Hanya saja ia berhenti bertapa dan menjadi dukun.
Kyai Fauzan mengajarinya sholat sehingga ia berubah menjadi santri yang taat
sholat di masjid.
Setahun kemudian, timbul suatu gejala yang
aneh. Air yang dinaikkan dengan pompa Sanyo itu tak mengalir lagi. Bak
penampung air kosong dan ketiga bangunan itu kekurangan air. Tapi yang lebih
menyedihkan adalah bahwa penduduk desa tidak lagi bisa menikmati mata air yang
dulu pernah memancar dari bawah pohon keramat itu. Apakah itu bencana yang dulu
pernah diingatkan oleh dukun Parto? Penduduk desa tidak menghubungkan gejala
baru itu dengan peringatan Partorejo. Bahkan hal itu pun juga tidak terpikirkan
oleh Parto sendiri.
Tidak saja air tidak lagi mengalir, yang lebih
mengherankan penduduk desa adalah tiga bangunan itu, terutama masjid mulai
retak-retak. Mungkin suatu hari masjid itu bisa runtuh sebab di dekat MCK sudah
terjadi tanah longsor karena air hujan yang cukup deras sudah tidak ada yang
menahan sehingga menimbulkan erosi. Guna menahan kemarahan Sing mBau Rekso,
penduduk tidak lagi bisa memberikan sesajen kepada pohon keramat yang sudah
hilang dari muka bumi itu.
Beberapa orang desa datang kepada Partorejo
yang sudah jadi santri itu dan bertanya:
"Pak, apakah ini semua tanda-tanda
kemarahan Sing mBau Rekso?" tanya mereka benar-benar ingin tahu.
"Wah jangan tanya soal ini kepada saya.
Tanya saja pada Pak Kyai Fauzan," jawab Parto. Maka mereka pun datang
kepada Kyai Fauzan
"Pak Kyai, bukankah masjid kita ini
dibangun atas dasar taqwa?" tanya mereka.
"Ya betul, memangnya kenapa?" tanya
balik sang kyai.
"Tapi kok masjid kita itu terak-retak dan
sebentar lagi bisa rubuh?" tanya mereka lebih lanjut.
"Waduh, bangunan rubuh bukan soal
agama," jawab Kyai Fauzan. "Tanya saja pada Pak Thohir yang membangun
semua ini. Mungkin semennya dikurangi atau pondasinya kurang kuat." Ketika
pada gilirannya penduduk menanyakan hal itu pada Thohir, pemborong itu merasa
tersinggung.
"Lho kok malah saya yang dituduh korupsi.
Tanya saja pada pak insinyur, apakah ia mengurangi jatah semennya?" Tapi
insinyur yang dimaksud tinggal di kota sehingga pertanyaan itu dijawab sendiri
oleh pemborong Thohir seolah-olah mewakili insinyur dimaksud.
"Jangan menuduh atau menghina saya tidak
becus membangun ya. Mungkin saja roh-roh jahat telah menyabot bangunan
saya," jawabnya sambil tertawa keras. Penduduk hanya bengong saja
mendengar jawaban-jawaban yang mereka terima. Kenyataannya, bencana memang
sedang mengancam setelah pohon keramat itu ditebang.
Jakarta, 13 Februari 2005
Post: 04/11/2006 Disimak:
190 kali
Cerpen: M. Dawam Rahardjo
Sumber: Kompas, Edisi 04/09/2006